Bulan Rajab, bulan yang dihormati manusia. Bulan ini termasuk bulan haram (Asyhurul Hurum).
Banyak cara manusia menghormati bulan ini, ada yang menyembelih
hewan, ada yang melakukan sholat khusus Rajab dan lain-lainnya.
Di bulan ini juga, sebagian kaum muslimin memperingati satu peristiwa yang sangat luar biasa, peristiwa perjalanan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dari Makkah ke Baitul Maqdis, kemudian ke sidratul muntaha menghadap Pencipta alam semesta dan Pemeliharanya. Itulah peristiwa Isra’ dan Mi’raj.( Baca Download Murotal Alquran & Download Alquran Digital )
Peristiwa
ini tidak akan dilupakan kaum muslimin, karena perintah sholat lima
waktu sehari semalam diberikan oleh Allah pada saat Isra’ dan Mi’raj.
Tiang agama ini tidak akan lepas dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam .
Akan
tetapi, haruskah peristiwa itu diperingati? Apakah peringatan Isra’
mi’raj yang dilakukan kaum ini merupakan hal yang baik ataukah satu hal
yang merusak agama? Simaklah pembahasan kali ini, mudah-mudahan Allah
memberikan kemudahan kepada kita untuk memahaminya dan menerima
kebenaran.
Kapan Isra’ dan Mi’raj terjadi?
Ketika mendengar sebuah peristiwa besar, mestinya ada satu pertanyaan yang akan segera timbul dalam hati si pendengar yaitu masalah waktu terjadi. Begitu pula kaitannya dengannya peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam .
Kapan
sebenarnya Isra’ dan Mi’raj terjadi, benarkah pada tanggal 27 Rajab
atau tidak? Untuk bisa memberikan jawaban yang benar, kita perlu
melihat pendapat para ulama seputar masalah ini.
Berikut kami nukilkan beberapa pendapat para ulama:
Pertama: Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqaalaniy Rahimahullah 1
berkata: “Para ulama berselisih tentang waktu Mi’raj. Ada yang
mengatakan sebelum kenabian. Ini pendapat yang aneh, kecuali kalau
dianggap terjadinya dalam mimpi. Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa
peristiwa itu terjadi setelah kenabian. Para ulama yang mengatakan
peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi setelah kenabian juga berselisih,
diantara mereka ada yang mengatakan setahun sebelum hijrah. Ini pendapat
Ibnu Sa’ad dan yang lainnya dan dirajihkan (dikuatkan) oleh Imam An
Nawawiy dan Ibnu Hazm, bahkan Ibnu Hazm berlebihan dengan mengatakan
ijma’ (menjadi kesepakatan para ulama’) dan itu terjadi pada bulan
Rabiul Awal. Klaim ijma’ ini tertolak, karena seputar hal itu ada
perselisihan yang banyak lebih dari sepuluh pendapat.”2
Kemudian beliau menyebutkan pendapat para ulama tersebut satu persatu.
- Pendapat pertama mengatakan: “setahun sebelum hijroh, tepatnya bulan Rabi’ul Awal”. Ini pendapat Ibnu Sa’ad dan yang lainnya dan dirajihkan An Nawawiy
- Kedua mengatakan: “delapan bulan sebelum hijroh, tepatnya bulan Rajab”. Ini isyarat perkataan Ibnu Hazm, ketika berkata: “Terjadi di bulan rajab tahun 12 kenabian”.
- Ketiga mengatakan: “enam bulan sebelum hijroh, tepatnya bulan Romadhon”. Ini disampaikan oleh Abu Ar Rabie’ bin Saalim.
- Keempat mengatakan: “sebelas bulan sebelum hijroh tepatnya di bulan Robiul Akhir”. Ini pendapat Ibrohim bin Ishaq Al Harbiy, ketika berkata: “Terjadi pada bulan Rabiul Akhir, setahun sebelum hijroh”. Pendapat ini dirojihkan Ibnul Munayyir dalam syarah As Siirah karya Ibnu Abdil Barr.
- Kelima mengatakan: “setahun dua bulan sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Abdilbar.
- Keenam mengatakan: “setahun tiga bulan sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Faaris.
- Ketujuh mengatakan: “setahun lima bulan sebelum hijroh”. Ini pendapat As Suddiy.
- Kedelapan mengatakan: “delapan belas bulan sebelum hijroh, tepatnya dibulan Ramadhan”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi Subrah dan Ibnu Abdilbar.
- Kesembilan mengatakan: ” Bulan Rajab tiga tahun sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan Ibnul AtsirKesepuluh mengatakan: “lima tahun sebelum hijroh”. Ini pendapat imam Az Zuhriy dan dirojihkan Al Qadhi ‘Iyaadh. 3
Oleh karena banyaknya perbedaan pendapat dalam masalah ini, maka benarlah apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah Rahimahullah
, bahwa tidak ada dalil kuat yang menunjukkan bulannya dan
tanggalnya. Bahkan pemberitaannya terputus serta massih
diperselisihkan, tidak ada yang dapat memastikannya.4
Bahkan
Imam Abu Syaamah mengatakan, “Dan para ahli dongeng menyebutkan Isra’
dan Mi’raj terjadi di bulan Rajab. Menurut ahli ta’dil dan jarh
(Ulama Hadits) itu adalah kedustaan”. 5
Hukum Memperingati Isra’ dan Mi’raj.
Mungkinkah Islam agama yang sempurna ini mensyariatkan sesuatu yang belum jelas ketentuan waktunya? Cukuplah ini sebagai indikator kuat akan bid’ahnya peringatan Isra’ dan Mi’raj yang banyak diadakan kaum muslimin. Apalagi kita telah tahu bahwa para ulama salaf telah sepakat (konsensus) menggolongkan peringatan yang dilakukan berulang-ulang (musim) yang tidak ada syariatnya termasuk kebidahan yang dilarang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . berdalil dengan sabda beliau:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Hati-hatilah dari hal yang baru, karena setiap hal yang baru itu bid’ah dan setiap kebidahan itu sesat. (Riwayat At Tirmidziy dan Ibnu Majah)
dan
. مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
serta:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya mak dia tertolak. (Riwayat Muslim).
Peringatan
Isra’ dan Mi’raj adalah perkara baru yang tidak pernah dilakukan para
sahabat dan tabiin maupun orang-orang alim setelah mereka dari para
salaf umat ini. Padahal mereka adalah orang yang paling semangat
mencari kebaikan dan paling semangat mengamalkan amal sholeh.6
Untuk
itu berkata Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah ketika beliau ditanya
tentang keutamaan malam Isra’ dan Mi’raj dan malam qadar, “… Dan tidak
diketahui seorangpun dari kaum muslimin menjadikan malam Isra’ dan
Mi’raj memiliki keutaman atas selainnya, apalagi diatas malam qadar.
Demikian juga para sahabat g dan orang yang mengikuti mereka dengan
baik tidak sengaja mengkhususkan satu amalan di malam Isra’ dan Mi’raj
dan mereka juga tidak memperingatinya, oleh karena itu tidak diketahui
kapan malam tersebut. Peristiwa isra’ merupakan keutamaan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam
yang besar, namun demikian, tidak perintahkan mengkhususkan
(mengistimewakan) malam tersebut dan tempat kejadian tersebut dengan
melakukan satu ibadah syar’i. Bahkan gua Hiro’ yang merupakan tempat
turun wahyu pertama kali dan merupakan tempat pilihan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam sebelum diutus menjadi Nabi, tidak pernah sengaja di kunjungi oleh beliau Shallallahu’alaihi Wasallam
ataupun salah seorang sahabatnya selama berada diMakkah. Tidak pula
mengkhususkan (mengistimewakan) hari turunnya wahyu dengan satu ibadah
tertentu atau yang lainnya. Tidak pula mengkhususkan tempat pertama
kali turun wahyu dengan sesuatu. Maka barang siapa mengkhususkan
(mengistimewakan) tempat-tempat dan waktu-waktu yang diinginkan dengan
melakukan satu ibadah tertentu karena termotivasi oleh peristiwa diatas
atau yang sejenisnya, maka dia sama dengan ahli kitab yang telah
menjadikan hari kelahiran Isa q musim dan ibadah seperti hari natal dan
lain sebagainya”7
Untuk lebih memperjelas masalah hukum peringatan Isra’ Mi’raj, kami sampaikan fatwa beberapa ulama tentang hukum peringatan ini.
Pertama: An Nahaas rahimahullah 8
Beliau
berkata, “Peringatan malam Isra’ dan Mi’raj adalah bid’ah besar dalam
agama dan kebid’ahan yang dibuat oleh teman-teman Syaithon.”9
Kedua: Ibnul Haaj.10
Beliau
berkata, “Diantara kebid’ahan yang mereka buat pada bulan Rajab
adalah malam dua puluh tujuh yang merupakan malam Isra’ dan Mi’raj “11
Ketiga: Fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy Syaikh rahimahullah 12
dalam jawaban beliau atas undangan yang disampaikan kepada Robithoh
Alam Islamiy untuk menghadiri salah satu peringatan Isra’ dan Mi’raj
setelah beliau ditanya tentang hal itu. Lalu beliau menjawab,”Ini tidak
disyariatkan, dengan berdasarkan Al-Qur’an, As-sunnah, Istishhab dan
akal”.
Dalil Al Qur’an
Firman Allah:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridha Islam itu jadi agamamu. (QS. Al Maidah : 3)
dan firmanNya:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى
اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللهِ وَالرَّسُولِ
Hai
orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. An Nisa’ 59)
kembali kepada Allah maksudnya kembali kepada Al Quran, kembali kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam maksudnya merujuk ke Sunnahnya setelah beliau meninggal dunia.
Demikian juga firmanNya:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
Katakanlah
(hai Muhammad), “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah maka
ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu”.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Imran: 31)
dan firmanNya:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
maka orang-orang yang menyalahi perintah-Nya hendaklah mereka takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An Nur: 63)
Dalil Sunnah
Pertama : Hadits shahih dalam shohihain dari Aisyah z bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim),
dan hadits shahih dalam Kitab Shahih Muslim
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak kami perintahkan maka dia tertolak (Riwayat Muslim).
Kedua:
Hadits riwayat Ibnu Majah, At Tirmidziy dan dianggap shohih oleh
beliau serta diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya dari
Irbaadh bin Saariyah Radhiallahu’anhu , beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Hindarilah hal-hal yang baru, karena setiap hal yang baru itu bidah.
Ketiga: Riwayat Ahmad, Al bazaar dari Ghadhiif bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
مَا أَحدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلاَّ رَفَعَ مِثْلَهَا مِنَ السُّنَّةِ
Tidaklah satu kaum berbuat bid’ah kecuali dihilangkan sepertinya dari Sunnah. Dan diriwayatkan oleh Ath Thabraaniy akan tetapi dengan lafadz:
مَا مِنْ أُمَّةٍ ابْتَدَعَتْ بَعْدَ نَبِيِّهَا إِلاَّ أَضَاعَتْ مِثْلَهَا مِنَ السُّنَّةِ
Tidak ada umat yang melakukan kebidahan setelah nabinya kecuali dihilangkan sunnah seukuran bid’ahnya.
Keempat: Riwayat Ibnu Majah, Ibnu Abi Ashim dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda
أَبَى اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Allah tidak akan menerima amalan pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan perbuatan bid’ahnya.
Dan dalam riwayat Ath Thabraniy dengan lafadz
إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan perbuatan bid’ahnya.
Dalil Istishhaab
Hal ini tidak ada dasar perintahnya. Pada dasarnya, ibadah itu tauqifiyah,
sehingga tidak boleh kita mengatakan, “Ibadah ini disyariatkan”
kecuali ada dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’, dan tidak boleh
pula mengatakan, “Ini diperbolehkan karena termasuk dalam maslahat
mursalah, istihsaan (anggapan baik), qiyas (analogi) atau ijtihad”
karena permasalahan aqidah, Ibadah dan hal-hal yang telah ada ukurannya
(dalam Syariat) seperti pembagian warisan dan pidana adalah perkara
yang tidak ada tempat bagi ijtihad atau sejenisnya.
Dalil Akal
Jika
perayaan Isra’ dan Mi’raj bertujuan untuk mengagungkan peristiwa
Isra’ dan Mi’raj itu sendiri, kita katakan, “seandainya hal ini
disyari’atkan, tentunya Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam merupakan orang pertama yang melaksanakannya”.
Jika perayaan itu untuk mengagungkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengenang perjuangan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam seperti pada maulid Nabi, maka tentulah Abu Bakr Radhiallahu’anhu
adalah orang yang pertama melakukannya , lalu Umar, Utsman, Ali,
kemudian orang-orang setelah mereka. Disusul kemudian oleh para tabiin
selanjut para imam. Padahal tidak ada seorangpun dari mereka yang
diketahui melakukan hal tersebut meskipun sedikit. Maka cukuplah bagi
kita untuk melakukan apa yang menurut mereka cukup.”13
Beliaupun berfatwa di dalam fatawa wa rasail
beliau, “Peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah perkara batil dan satu
kebidahan. Ini termasuk sikap meniru-niru orang yahudi dan nashrani
dalam mengagungkan hari yang tidak diagungkan syari’at. Pemilik
kedudukan tinggi Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam lah yang menetapkan syariat. Dialah yang menjelaskan halal dan harom. Sementara para khulafa’ rasyidin
dan para imam dari para sahabat dan tabiin tidak pernah diketahui
melakukan peringatan tersebut.” Kemudian berkata lagi, “Maksudnya
perayaan peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah bid’ah. Maka tidak boleh
bekerjasama dalam hal tersebut.”14
Keempat: Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baaz rahimahullah 15:
“Tidak disangsikan lagi, Isra’ mi’roj merupakan tanda kebesaran Allah Ta’ala yang menunjukkan kebenaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dan ketinggian derajat Beliau disisi Allah Ta’ala . Sebagaimana Isra’
dan Mi’raj termasuk tanda-tanda keagungan Allah dan ketinggianNya
atas seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman:
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَا الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ
ءَايَاتِنَآ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda
kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. (Al Isra’ : 1)
Dan telah telah diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bahwa Beliau diangkat ke langit dan dibukakan pintu-pintunya sampai
Beliau melewati langit yang ketujuh. Lalu RobNya berbicara kepadanya
dengan sesuatu yang dikehendakinya dan diwajibkan padanya sholat lima
waktu. Allah Ta’ala pertama kali mewajibkan padanya lima puluh sholat,
lalu senantiasa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
meminta keringanan sampai dijadikan lima sholat. Itulah lima sholat yang
diwajibkan tapi pahalanya lima puluh, karena satu kebaikan dibalas
dengan sepuluh kali lipat. Allah k zat yang harus dipuji dan disyukuri
atas segala nikmatNya.
Tidak
ada dalam hadits yang shohih penentuan malam terjadinya Isra’ dan
Mi’raj. Semua hadits yang menjelaskan penentuan malamnya menurut ulama
hadits adalah hadits yang tidak shohih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Allah Ta’ala memiliki hikmah dalam melupakan manusia tentangnya.
Seandainya ada penentuannya yang absahpun kaum muslimin tidak boleh
mengkhususkannya dengan satu ibadah tertentu, tidak boleh mereka
merayakan peringatannya, karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
dan para sahabatnya tidak memperingatinya dan tidak pula mengkhususkan
ibadah tertentu padanya. Seandainya peringatannya adalah perkara yang
disyariatkan, tentunya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
telah menjelaskannya kepada umatnya, baik dengan ucapan atau perbuatan
Beliau. Seandainya pernah dilakukan niscaya akan iketahui serta akan
dinukilkan oleh para sahabatnya g kepada kita. Karena mereka telah
menyampaikan segala sesuatu yang dibutuhkan umat dan tidak melalaikan
urusan agama ini sedikitpun, bahkan mereka berlomba-lomba dalam
melaksanakan kebaikan.
Maka seandainya peringatan malam Isra’ dan Mi’raj disyariatkan niscaya mereka orang pertama yang melakukannya, apalagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
adalah orang yang sering menasehati umatnya. Beliau telah
menyampaikan risalah agama sebaik-baiknya serta telah menunaikan
amanah yang diembannya. Maka seandainya mengagungkan dan memperingati
malam tersebut termasuk ajaran agama, maka tentunya Beliau tidak
melalaikan dan menyembunyikannya.
Karena
Nabi tidak mengagungkan dan memperingati malam tersebut, maka
jelaslah peringatan dan pengagungan malam tersebut bukan termasuk
ajaran Islam.
Begitulah
Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama Islam dan menyempurnakan
nikmat untuk umatnya serta mengingkari orang yang menambah-nambah
syariat Islam dengan sesuatu yang tidak diizinkanNya. Allah berfirman
dalam Al Qur’an
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (QS. Al Maidah : 3)
Demikian juga dalam firmanNya
أَمْ
لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ
اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ
الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan (selain Allah) yang mensyari’atkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh
azab yang amat pedih. (QS. Asy Syura :21)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dalam hadits-hadits yang shohih telah memperingatkan bahaya bid’ah
dan menjelaskan bahwa bid’ah itu sesat. Untuk memperingatkan umat ini
dari besarnya bahaya bidah dan untuk menghindarkan mereka dari membuat
bid’ah. Kami akan sampaikan beberapa hadits, diantaranya hadits yang
shohih dalam shohihain dari Aisyah x dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam , Beliau bersabda
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa
yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan
darinya maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
dan dalam riwayat Muslim
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya mak dia tertolak. (Riwayat Muslim).
Dan dalam shohih Muslim dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah pada hari jum’at dan mengatakan:
أَمَا
بَعْدُ فَإِِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللَّهِ وَ خَيْرَ
الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Ama Ba’du; sesungguhnya sebaik ucapan adalah kitabullah dan sebaik contoh adalah contoh petunjuk Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam , sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang dibuat-buat, dan setiap kebidahan adalah sesat.
Dalam sunan dari Al Irbaadh bin Saariyah Radhiallahu’anhu , beliau berkata
وَعَظَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً
بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ
فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ
فَأَوْصِنَا قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِيْ
تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
telah menasehati kami dengan nasehat yang mendalam, hati bergetar dan
mata meneteskan airmata. Lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
seakan-akan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat!. Lalu
beliau berkata: “aku wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah
,patuh dan taat, walaupun kalian dipimpin seorang budak, karena siapa
yang hidup dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak.
Maka kalian harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnahnya para
khulafa rasyidin yang memberi petunjuk setelahku. Berpeganglah kalian
dan gigitlah dia dengan gigi graham kalian serta hati-hatilah dari hal
yang baru, karenasetiap hal yang baru itu bidah dan setiap
kebidahan itu sesat. (Riwayat At Tirmidziy dan Ibnu Majah).
Dan banyak hadits yang lain yang semakna dengan ini.
Demikian juga peringatan dan ancaman dari perbuatan bid’ah telah ada dari sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dan para salaf sholih setelah mereka. Karena perbuatan bid’ah adalah
penambahan dalam agama dan syariat yang tidak diizinkan Allah Ta’ala
serta meniru-niru kaum Yahudi dan Nashroni musuh Allah. Melakukan
bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menuduh Islam tidak
sempurna. Dengan demikian jelas menimbulkan kerusakan dan kemungkaran
yang besar, karena Allah telah menyatakan kesempurnaan agama ini
melalui firmanNya
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu (QS. Al Maidah 3)
Perbuatan bid’ah juga secara terang-terangan menyelisihi hadits-hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memperingatkan dan mengancam kebid’ahan.
Mudah-mudahan
apa yang telah kami jelaskan dari dalil-dali tersebut cukup memuaskan
pencari kebenaran dalam mengingkari dan mengingatkan kebidahan ini-
yaitu peringatan malam Isra’ dan Mi’raj -. Sesungguhnya dia bukanlah
dari syariat Islam sedikitpun.16
Demikianlah
keterangan para ulama seputar hukum merayakan peringatan Isra’ dan
Mi’raj. Keterangan yang cukup jelas dan gamblang disertai dalil-dalil
yang kuat bagi pencari kebenaran. Kemudian masihkah kita melakukannya,
padahal peringatan tersebut satu kebidahan dan bukan termasuk ajaran
Islam. Bahkan itu merupakan penambahan syariat dalam Islam dan
menyerupai kelakuan ahli kitab yang telah membuat bid’ah dalam agama
mereka, sehingga menjadi rusak dan hancur.
Sudahkan kita merenungkan bahaya kebidahan terhadap islam?
Cukuplah peringatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
, para sahabat dan ulama Islam sebagai peringatan bagi kita untuk
sadar dan bangkit memperbaiki kondisi kaum muslimin demi mencapai
kejayaan Islam.
Mudah-mudahan
Allah meudahkan kita untuk memahami tulisan ini dan mudah-mudahan
Allah menolong kita dalam menjalankan ketaatan kepadaNya dan untuk
meninggalkan perayaan yang telah menghabiskan harta dan tenaga yang
banyak akan tetapi justru merusak agama dan amalan kita semua.
—
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
Catatan Kaki
1
Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad Al Kinaaniy Al Asqaalaniy,
seorang ulama besar dalam hadits dan fiqih, pengarang kitab Fathul Bariy Syarah Shahih Bukhari, meninggal tahun 852 H.
2 Ibnu Hajar, Fathul Bari 7/203.
3 ibid
4 lihat Zaadul Ma’aad 1/57.
5 Al Baa’its, hal 171.
6 Lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal. 274.
7 Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad 1/58-59.
8
Beliau bernama Abu Zakariya Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad Ad
Dimasyqiy, dikenal dengan Ibnu Nahaas, seorang ulama besar yang
meninggal dalam perang menghadapi Perancis tahun 814 H.
9 lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal 279.
10 Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al Haaj, Abu Abdillah Al “Abdariy Al Faasiy, meninggal tahun 737 H.
11 lihat Al bida’ Al Hauliyah hal. 275, menukil dari Al Madkhal 1/.294.
12
Beliau bernama Muhammad bin Ibrahim bin Abdillathif bin Abdirrohman
bin Hasan bin Muhammad bin Abdil Wahaab, dilahirkan di Riyadh tahun
1311 H dan meninggal di bulan Ramadhan 1398 H. Beliau pernah menjabat
sebagai ketua Rabithah Alam Islamiy, Rektor Jami’ah Islamiyah dan Mufti agung kerajaan Saudi Arabia sebelum Syaikh Ibnu Baaz.
13 Lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal. 276-279 menukil dari Fatawa wa Rasail Asy Syaikh Muhammad bin Ibrahim 3/97-100.
14 Ibid 3/103.
15
Beliau bernama Abdulaziz bin Abdillah bin Abdirrahman bin Baaz,
dilahirkan tahun 1330 H di Riyadh. Beliau seorang alim besar abad ini
dan menjadi mufti agung Kerajaan Saudi Arabia menggantikan Syeikh
Muhammad bin Ibrahim Ali Asy Syaikh sampai meninggal tahun 1420 H.
16 Lihat catatan kaki kitab Fatawa Lajnah Daimah 3/64-66.
sumber : http://fakta-dan-unik.blogspot.com
Title : Sejarah Isra' Mi'raj
Description : Bulan Rajab, bulan yang dihormati manusia. Bulan ini termasuk bulan haram ( Asyhurul Hurum ). Banyak cara manusia menghormati bulan ...
Description : Bulan Rajab, bulan yang dihormati manusia. Bulan ini termasuk bulan haram ( Asyhurul Hurum ). Banyak cara manusia menghormati bulan ...
0 Response to "Sejarah Isra' Mi'raj"
Post a Comment